KLIKSULTRA.ID – Marhaenisme bukan sekadar ideologi, ia adalah semangat perjuangan yang diwariskan Soekarno untuk membela rakyat kecil. Gagasan ini menyoroti ketimpangan sosial dan ekonomi yang dialami petani, buruh, nelayan, kaum miskin kota dan kaum marhaen lainnya, yang meskipun bekerja keras, tetap hidup dalam keterbatasan akibat sistem yang tidak adil.
Menurut Rasmin Jaya, Ketua DPC GMNI Kendari, Marhaenisme masih sangat relevan dalam konteks perjuangan keadilan sosial di Indonesia sekaligus menjadi jawaban dan alternatif atas perkembangan zaman, globalisasi dan modernisasi saat ini.
“Soekarno merancang Marhaenisme sebagai ideologi yang membangkitkan kesadaran rakyat kecil agar mereka tidak lagi menjadi korban eksploitasi, baik oleh kapitalisme global maupun elit dalam negeri,” ujarnya.
Kelahiran Marhaenisme: Sebuah Percakapan yang Mengubah Sejarah
Marhaenisme berawal dari pertemuan Soekarno dengan seorang petani bernama Marhaen di Bandung pada awal 1920-an. Marhaen memiliki tanah dan alat pertanian, namun tetap hidup miskin. Dari sini, Soekarno menyimpulkan bahwa rakyat kecil seperti Marhaen sebenarnya memiliki sumber daya, tetapi tetap tertindas oleh sistem ekonomi yang tidak adil.
“Soekarno memahami bahwa kemiskinan bukan sekadar akibat kurangnya kerja keras, melainkan adanya struktur ekonomi yang timpang,” kata Rasmin Jaya.
“Marhaenisme lahir sebagai perlawanan terhadap ketimpangan itu yang juga melawan bentuk Penjajahan gaya baru Nekolim,” tegasnya.
Prinsip-Prinsip Marhaenisme: Kunci Menuju Keadilan Sosial
Marhaenisme menawarkan solusi konkret untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil. Beberapa prinsip utamanya meliputi:
– Kesetaraan Sosial dan Ekonomi – Marhaenisme berjuang agar kekayaan tidak hanya dinikmati oleh segelintir orang, tetapi juga oleh rakyat kecil.
– Anti Kapitalisme dan Anti-Imperialisme – Soekarno menolak eksploitasi oleh kapitalis asing dan elit lokal yang menindas rakyat, Menolak segala bentuk Penjajahan manusia di atas manusia dan Penjajahan bangsa di atas bangsa.
– Nasakom (Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme) – Kombinasi ketiga unsur ini dianggap mampu menciptakan sistem yang sesuai dengan karakter bangsa Indonesia, Nasakom juga pernah menjadi bagian dari alternatif pertentangan antara blok barat dan blok timur, Indonesia masuk di Non Blok.
– Demokrasi Kerakyatan – Kekuasaan harus berada di tangan rakyat, bukan hanya segelintir elit politik dan ekonomi.
“Marhaenisme bukan hanya tentang menolak kapitalisme, tetapi juga membangun sistem ekonomi yang lebih adil bagi rakyat kecil,” jelas Rasmin Jaya.
Upaya Soekarno Mewujudkan Marhaenisme
Sebagai pemimpin, Soekarno tidak hanya berbicara, tetapi juga bertindak. Ia mencoba menerapkan Marhaenisme melalui berbagai kebijakan, seperti:
– Reforma Agraria, memberikan tanah kepada petani agar mereka tidak terus-menerus hidup dalam kemiskinan.
– Nasionalisasi Perusahaan Asing, mengambil alih perusahaan asing yang menguasai ekonomi Indonesia agar kekayaan negara dapat dinikmati rakyat.
– Program Sosial dan Pendidikan, meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan pendidikan yang membangun kesadaran politik dan sosial.
Namun, menurut Rasmin Jaya, pelaksanaan Marhaenisme di masa Soekarno menghadapi tantangan besar.
“Tekanan dari dalam dan luar negeri membuat penerapan Marhaenisme tidak berjalan maksimal. Namun, semangatnya tetap relevan hingga saat ini,” ujarnya.
Warisan Marhaenisme: Apakah Masih Relevan Hari Ini?
Meski Marhaenisme tidak sepenuhnya berhasil diterapkan pada zamannya, ideologi ini tetap menjadi inspirasi bagi banyak gerakan sosial dan politik di Indonesia.
“Jika kita melihat ketimpangan ekonomi yang masih terjadi, kita bisa memahami mengapa Marhaenisme tetap relevan,” kata Rasmin Jaya.
“Perjuangan untuk kemandirian ekonomi dan keadilan sosial masih harus terus dilakukan misalnya Soekarno menawarkan jalan Trisakti, bagaimana Indonesia bisa berdaulat dalam bidang politik, berdikari dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam berbudaya Meski kondisi hari ini dalam prakteknya sangat bertolak belakang sekali dengan apa yang menjadi cita-cita Soekarno itu sendiri”
Marhaenisme bukan sekadar warisan sejarah, ia adalah obor yang terus menyala dalam perjuangan rakyat kecil. Seperti kata Soekarno,
“Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri.”
Kini, tantangannya adalah bagaimana kita menerapkan semangat Marhaenisme dalam kondisi sosial dan ekonomi modern. Apakah kita siap memperjuangkannya.
Perkembangan zaman globalisasi modernisasi yang kian banyak Ideologi – ideologi besar yang lain masuk di Indonesia mengancam dari pada stabilitas dan konduktivitas bangsa, negara dan masyarakat.
Sehingga ini akan berpotensi terjadinya disintegrasi bangsa, radikalisme serta berbagai isu yang membius generasi muda agar terlena dengan produk bangsa barat yang hari ini juga mulai terlena dengan hal-hal yang pragmatis.
Anggota dan kader GmnI di tuntut kecerdasan untuk selalu mengkaji persoalan yang ada di dalam sosial, ekonomi dan politik apalagi kondisi arus globalisasi sangat pesat hadir dengan beragam teknologi yang semakin berkembang di tatanan masyarakat. Maka itu anggota dan kader GmnI harus berpikir visioner dan progresif yang sesuai dengan konteks zamannya.
relevansi ajaran bung Karno akan tetap ada selagi masih ada bentuk penjajahan dan pengisapan kapitalisme global yang saat ini bercokol di Indonesia.
Sebab bentuk pengisapan sekarang adalah bentuk penjajahan gaya baru yang di lakukan Nekolim, Neokolonialisme, Neoliberalisme dan kapitalisme yang ingin meraup kekayaan Indonesia dan Sumber Daya Alamnya.
Sehingga ini harus menjadi perhatian bersama, agar Marhaenis muda tetapi menjadikan marhaenisme sebagai asas, ideologi perjuangan untuk menentang penjajahan manusia di atas manusia bangsa di atas bangsa.
“Ia mengingatkan kepada anggota dan kader GMNI Kota Kendari untuk tetap melakukan konsolidasi dan merapikan barisan Marhaenis sebab apa yang menjadi cita-cita kita menuju sosialisme Indonesia dalam praktek yakni Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia akan tetap kita perjuangkan,” Tegasnya.
Ia juga membeberkan tentang apa yang menjadi tanggung jawab marhaenis muda, bahwa sebagai anggota dan kader GMNI merasa punya tanggung jawab sejarah, ideologi dan organisasi dalam Membumikan ajaran Marhaenisme di Sulawesi Tenggara.
“Ia juga menggambarkan model kebijakan pemerintah hari ini yang berpihak kepada investasi asing, dengan banyaknya masuknya pertambangan yang ada di Indonesia serta berbagai kebijakan yang sangat merugikan masyarakat. Maka sebagai seorang Marhaenis harus menjadi garda terdepan dalam membela petani, nelayan, butuh dan kaum miskin kota yang di tindas oleh sistem,” Tegasnya.
Uraian di atas adalah rangkaian dari beberapa diskusi anggota dan kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang melahirkan berbagai pikiran, ide dan gagasan serta bersumber dari Ideologi Soekarno sendiri Marhaenisme. (*)