Penulis: Muh Gylang Ramadhan (Ketua Bidang Advokasi dan HAM Himpunan Mahasiswa Hukum Universitas Lakidende).
KLIKSULTRA.ID – Hilangnya marwah Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Lakidende (UNILAKI) yang tergiring dalam pusaran pragmatis dan oportunis merupakan sebuah fenomena yang mencerminkan pergeseran nilai dan orientasi dalam dunia organisasi mahasiswa. Dalam konteks ini, marwah mengacu pada integritas, idealisme, dan komitmen moral yang seharusnya melekat pada entitas seperti BEM.
Dalam perjalanan waktu, BEM telah menjadi wadah penting bagi mahasiswa untuk mengembangkan pemahaman tentang kepemimpinan, advokasi sosial, dan partisipasi demokratis. Namun, dalam beberapa kasus, tujuan mulia ini dapat tergeser oleh motif pragmatis dan oportunis, yang mengarah pada penurunan integritas dan komitmen terhadap aspirasi kolektif.
Dalam konteks hilangnya marwah BEM UNILAKI, tindakan yang tergiring dalam pusaran pragmatis merujuk pada kecenderungan untuk mengedepankan tujuan-tujuan praktis yang mungkin tidak selalu sejalan dengan misi dan visi murni organisasi tersebut. Misalnya, jika BEM lebih fokus pada pencapaian keuntungan pribadi atau kenaikan popularitas daripada pada pelayanan yang berkelanjutan kepada mahasiswa, maka nilai-nilai inti BEM telah terkompromikan.
Sementara itu, oportunisme mengacu pada pendekatan yang didasarkan pada peluang yang muncul, tanpa memperhatikan konsekuensi jangka panjang atau konsistensi dengan nilai-nilai yang dianut. Dalam konteks ini, BEM yang terjebak dalam oportunisme mungkin akan mengambil tindakan-tindakan yang diarahkan untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau keuntungan segera, bahkan jika hal itu melanggar prinsip-prinsip moral atau tujuan-tujuan jangka panjang.
Fenomena ini dapat menjadi refleksi dari perubahan dalam budaya organisasi mahasiswa, di mana tekanan untuk mencapai hasil yang nyata, tanggapan cepat terhadap isu-isu aktual, dan persaingan yang semakin ketat dalam lingkungan universitas dapat mempengaruhi cara BEM beroperasi. Namun, sangat penting untuk mempertimbangkan bahwa pergeseran ini dapat merugikan esensi sejati dari BEM sebagai wakil mahasiswa yang bersikap progresif, kritis, dan peduli terhadap kepentingan kolektif.
Untuk mengatasi fenomena ini, penting bagi BEM UNILAKI dan organisasi mahasiswa serupa untuk mengambil langkah-langkah yang mendorong kembali pada nilai-nilai inti seperti integritas, komitmen moral, dan idealisme. Ini dapat mencakup penerapan mekanisme akuntabilitas internal yang ketat, pelatihan kepemimpinan yang mengedepankan etika, serta pembentukan budaya organisasi yang mendorong partisipasi aktif dan diskusi terbuka.
Dalam mengatasi tantangan pragmatisme dan oportunisme, BEM UNILAKI harus berfungsi sebagai pilar penting dalam pembentukan karakter dan pengembangan mahasiswa sebagai agen perubahan yang bertanggung jawab dan beretika. Dengan mengembalikan fokus pada tujuan-tujuan nobel, BEM dapat memainkan peran yang bermakna dalam mendorong perubahan positif di tingkat kampus dan masyarakat luas.