Penulis: Muhammad Syahri Ramadhan (Ketua PMII Kab Konawe 2023-2024)
KLIKSULTRA.ID – Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) yang saat ini tengah dibahas dan telah disahkan oleh DPR RI menimbulkan kegelisahan di berbagai kalangan. Pasal-pasal yang diusulkan dalam revisi undang-undang ini dianggap memiliki potensi besar untuk mengaburkan batas antara institusi militer dan ranah sipil.
Jika tidak dikaji secara mendalam, regulasi ini bukan hanya mengancam prinsip supremasi sipil dalam demokrasi, tetapi juga berpotensi membawa malapetaka bagi masyarakat luas.
Salah satu poin krusial dalam RUU TNI adalah ketentuan yang memungkinkan prajurit aktif untuk menduduki jabatan di kementerian dan lembaga sipil yang tidak terkait langsung dengan sektor pertahanan.
Reformasi yang telah berjalan selama lebih dari dua dekade menegaskan bahwa profesionalisme militer harus dijaga dengan membatasi keterlibatan mereka dalam urusan pemerintahan sipil. Namun, RUU ini justru membuka kembali ruang bagi dominasi militer dalam aspek-aspek yang seharusnya dikelola oleh aparatur sipil negara.
Keberadaan prajurit aktif di lembaga-lembaga sipil berpotensi menciptakan budaya militeristik dalam pemerintahan, di mana pendekatan koersif dan hierarkis lebih diutamakan dibandingkan prinsip demokrasi dan pelayanan publik. Hal ini juga berisiko mengurangi akuntabilitas birokrasi, mengingat militer bukanlah entitas yang terbiasa dengan mekanisme transparansi dan pengawasan publik sebagaimana yang diterapkan dalam tata kelola pemerintahan sipil.
RUU TNI juga dinilai membuka peluang bagi militer untuk semakin aktif dalam kehidupan sosial-politik masyarakat. Dalam sejarah Indonesia, peran militer yang berlebihan dalam urusan sipil kerap berujung pada tindakan represif yang merugikan hak-hak rakyat.
Peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM yang melibatkan aparat keamanan, baik di masa lalu maupun dalam konteks kontemporer, menunjukkan bahwa penguatan kewenangan militer tanpa kontrol ketat dapat berdampak buruk bagi kebebasan sipil.
Konstitusi Indonesia telah menegaskan bahwa negara ini adalah negara hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia. Oleh karena itu, penguatan peran militer dalam ranah sipil tanpa mekanisme pengawasan yang memadai bisa menjadi langkah mundur bagi demokrasi dan supremasi hukum.
Sejarah mencatat bahwa reformasi 1998 bertujuan untuk memisahkan militer dari ranah politik dan pemerintahan sipil, menghapuskan dwifungsi ABRI, serta menegaskan bahwa militer harus tunduk pada otoritas sipil yang demokratis. Namun, beberapa pasal dalam RUU TNI tampaknya mengarah pada kebijakan yang bertentangan dengan semangat reformasi tersebut.
Masyarakat harus mengingat bahwa penghapusan dwifungsi ABRI bukan sekadar keputusan politik semata, melainkan sebuah langkah strategis untuk memastikan bahwa Indonesia tidak kembali ke masa di mana kekuasaan politik dan keamanan dikendalikan oleh militer. Jika ketentuan dalam RUU ini disahkan tanpa kajian kritis, maka bukan tidak mungkin militer akan kembali menjadi kekuatan dominan yang memengaruhi kebijakan negara di luar tugas utama mereka dalam pertahanan.
RUU TNI bukan sekadar revisi undang-undang biasa, tetapi merupakan regulasi yang dapat menentukan arah demokrasi dan supremasi sipil di Indonesia ke depan. Jika tidak dikaji secara hati-hati, regulasi ini berpotensi membawa malapetaka bagi rakyat sipil, baik dalam bentuk meningkatnya dominasi militer dalam pemerintahan, ancaman terhadap hak-hak sipil, maupun mundurnya reformasi yang telah diperjuangkan sejak 1998.
Oleh karena itu, sudah seharusnya masyarakat sipil, akademisi, dan para pemangku kepentingan lainnya terlibat aktif dalam mengawal pembahasan RUU ini. Transparansi, partisipasi publik, serta prinsip demokrasi harus menjadi fondasi utama dalam setiap kebijakan yang berkaitan dengan militer, agar negara ini tetap berada di jalur yang sesuai dengan konstitusi dan semangat reformasi.
Dari sultra untuk Indonesia, Dari Daerah Untuk Bangsa. Wallahul Muafieq Ilaa Aqwamith Tharieq.