KLIKSULTRA.ID, JAKARTA – Keputusan PDI Perjuangan (PDIP) mencalonkan Ganjar Pranowo sebagai calon presiden (capres) membuat pembentukan koalisi semakin tidak menentu.
Bahkan, diyakini koalisi yang terbentuk bubar.
Pengamat politik Citra Institute, Efriza menilai, jumlah calon presiden yang maju di Pilpres 2024 secara umum mengerucut menjadi tiga nama, yakni Ganjar, Prabowo Subianto, dan Anies Baswedan.
Sejauh ini tiga aliansi telah terbentuk. Pertama, Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang terdiri dari Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Kedua, Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) yang terdiri dari Partai Gerindra dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Ketiga, Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) yang beranggotakan Partai NasDem, Partai Demokrat, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). PDIP sendiri yang menentukan koalisi.
Namun, Efriza melihat penunjukkan Ganjar di PDI-P sebagai pelemahan struktur koalisi yang terbentuk.
Dia melihat, hanya CPP yang masih mau menggendong siapa saja. Sementara itu, pencalonan Ganjar akan sangat mempengaruhi nasib KIB dan KKIR yang belum menentukan capresnya.
Efriza juga melihat ada tiga skenario yang paling mungkin terwujud dalam pembentukan koalisi pasca pemilihan presiden Ganjar.
Pertama, KIB dibubarkan karena PAN dan PPP akan beraliansi dengan PDIP untuk mengangkut Ganjari.
Selain PDIP, PPP juga telah resmi menetapkan Ganjar sebagai calon presiden. Efriza juga melihat PAN mengangkut Ganjari juga.
Ia melanjutkan, PPP dan PAN sangat membutuhkan sosok Ganjar yang kualifikasinya kerap mengungguli calon presiden lainnya.
Dengan dukungan Ganjari, seharusnya PPP dan PAN bisa lolos di Pilkada 2024. Dia mencontohkan, keberhasilan NasDem melemahkan eligibilitas karena mendukung capres populer seperti Joko Widodo (Jokowi).
“Dua partai ini sudah rapuh, Amien Rais mengungguli PAN dan Partai Ummat melemahkannya, sebelumnya PPP terlibat konflik internal dengan penggulingan pemimpinnya. Kedua partai ini membutuhkan Ganjar Pranowo agar bisa menjaga keyakinan,” kata Efriza.
Kedua, Golkar beraliansi dengan Gerindra dan PKB (KKIR) untuk mencalonkan Prabowo sebagai cawapres.
Efriza menilai skenario ini bisa terjadi jika Prabowo atau Gerindra bisa meyakinkan salah satu anggota Golkar atau PKB untuk tidak menjadi wakil Prabowo dari kadernya.
Dia menjelaskan, Golkar masih berusaha menuntut agar Ketua Harian Airlangga Hartarto setidaknya menjadi wakil presiden. Begitu pula dengan PKB yang menginginkan CEO-nya Muhaimin Iskandar alias Cak Imin sebagai calon wakil presidennya.
“Kalau PKB bisa diterima dengan keyakinan Gerindra, maka wajar saja Gerindra mencalonkan diri dengan nama Muhaimin sebagai runner-up, maka sekarang PKB dan Muhaimin bisa dijinakkan lebih dulu. Soal kegagalan selanjutnya (Prabowo sebagai cawapres) bisa terancam. Itu strategi Gerindra,” kata Efriza.
Ketiga, PKB terjun ke koalisi pendukung Ganjari. Efriza memperkirakan jika Cak Imin tidak bisa menjadi calon penerus Prabowo dan tidak terancam punah, PKB akan turun tangan mendukung Ganjari.
PKB, lanjutnya, tidak ingin suara anggota Nahdlatul Ulama (NU) basis terbesarnya jatuh ke PPP.
Seperti diketahui, Sandiaga Uno disebut terkait dengan PPP.
PPP juga diduga mencoba mengonfrontasi pasangan Ganjar-Sandi. Sandi yang biasanya dekat dengan NU kemungkinan besar akan memancing suara Nahdliik ke PPP.
“PKB juga merasa khawatir ceruk pemilih NU-nya akan lebih diidentikkan dengan PPP, yang tentunya berisiko turunnya perolehan suara PKB,” tandasnya. (*)