UU ITE Disahkan, Dewan Pers: Ancam Kemerdekaan Pers

Rapat paripurna DPR RI menyetujui RUU tentang perubahan kedua atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menjadi Undang-Undang, Rabu (6/12/2023). (Foto: Instagram).

KLIKSULTRA.ID, JAKARTA – DPR RI akhirnya menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) Informasi dan Transaksi Elektronik atau ITE yang telah direvisi belum lama ini.

RUU ITE ini bertujuan untuk mengatur penggunaan internet dan media sosial di Indonesia. Dalam RUU ITE ini, terdapat sejumlah perubahan.

Salah satu perubahan yang paling penting adalah bahwa pengguna media sosial tidak lagi dapat semena-mena melakukan tindakan yang melanggar hukum.

Jika pengguna media sosial melanggar hukum, maka mereka akan dikenakan sanksi yang sesuai.

Sanksi tersebut dapat berupa denda, penjara, atau bahkan pencabutan hak penggunaan internet dan media sosial.

Selain itu, RUU ITE juga menetapkan beberapa perubahan lainnya. Berikut adalah beberapa perubahan yang terdapat dalam RUU ITE:

1. Pengaturan tentang informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagai alat bukti yang sah: Pasal 5 ayat 4 diubah untuk mengatur ketentuan mengenai informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagai alat bukti yang sah.

2. Larangan menyerang kehormatan atau nama baik orang lain: Pasal 27a ditambahkan untuk mengatur larangan kepada setiap orang yang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan hingga diketahui publik.

3. Larangan mendistribusikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik secara melawan hukum: Pasal 27b ditambahkan untuk mengatur larangan kepada setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum.

4. Larangan menyebarkan informasi atau pemberitahuan bohong: Pasal 28 ayat 1 diubah untuk mengatur larangan kepada setiap orang yang dengan sengaja mendistribusikan dan/atau mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang berisi pemberitahuan bohong atau informasi menyesatkan yang mengakibatkan kerugian materiil bagi konsumen dan transaksi elektronik.

5. Larangan mengirimkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik secara langsung kepada korban yang berisi ancaman kekerasan dan/atau menakut-nakuti: Pasal 29 ditambahkan untuk mengatur larangan kepada setiap orang yang dengan sengaja tanpa hak mengirimkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik secara langsung kepada korban yang berisi ancaman kekerasan dan/atau menakut-nakuti.

Sementara itu, Jumat (8/12/2023), Dewan Pers bereaksi atas disahkannya RUU ini menjadi Undang-Undang.

Dalam siaran pers Nomor 25/SP/DP/XII/2023 Revisi Kedua UU ITE disebut ancam Kemerdekaan Pers.

Ketua Dewan Pers, Dr Ninik Rahayu mengatakan, revisi kedua UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang disetujui bersama DPR RI dan Pemerintah masih berpotensi mengancam kemerdekaan pers dan kemerdekaan berekspresi masyarakat.

“Revisi kedua atas UU tersebut juga tidak memberikan perubahan signifikan terhadap pasal-pasal yang selama ini menjadi ancaman kemerdekaan pers,” kata Ninik melalui keterangan tertulisnya.

Ia menjelaskan, Pasal-pasal yang dimaksud antara lain adalah Pasal 27A mengenai distribusi atau transmisi informasi atau dokumen elektronik yang memiliki muatan tuduhan/fitnah dan/atau pencemaran nama baik. Kemudian, ancaman lainnya datang dari Pasal 28 ayat (1) dan (2) yang mengancam pelaku penyebaran pemberitahuan bohong dan SARA untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan.

Setiap orang yang melanggar pasal-pasal itu bisa dihukum penjara enam tahun dan atau denda Rp1 miliar.

Pasal-pasal yang mengatur soal penyebaran kebencian dan penghinaan tersebut mengingatkan pada haatzaai artikelen dalam KUHP.

Pasal-pasal karet produk kolonial tersebut bahkan dikuatkan dengan KUHP baru sebagai produk hukum nasional yang sebenarnya sudah tidak boleh diberlakukan berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi.

Lebih lanjut, kata dia, Pasal 27A, Pasal 27B dan Pasal 28 ayat (1) pada revisi kedua atas UU ITE berpotensi mengebiri pers karena karya jurnalistik yang didistribusikan menggunakan sarana teknologi dan informasi elektronik (di internet) terkait dengan kasus-kasus korupsi, manipulasi, dan sengketa, dapat dinilai oleh pihak tertentu sebagai penyebaran pencemaran atau kebencian dengan ancaman hukuman penjara lebih dari enam tahun, aparat kepolisian dapat menahan setiap orang selama 120 hari, termasuk wartawan, atas dasar tuduhan melakukan penyebaran berita bohong seperti diatur dalam revisi kedua atas UU ITE ini.

“Pasal-pasal itu secara tidak langsung dapat disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk membungkam pers, yang pada akhirnya akan menciderai upaya mewujudkan negara demokratis,” lanjutnya.

Dewan Pers menilai pasal-pasal UU ITE tidak dapat digunakan terhadap produk pers sebagai karya jurnalistik yang sudah tegas dan jelas diatur dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Sedangkan implementasi UU ITE sudah diatur dalam Pedoman Implementasi Undang-Undang ITE Nomor 229 Tahun 2021 berdasarkan Keputusan Bersama Menkominfo, Jaksa Agung dan Kapolri.

Pedoman tersebut menegaskan bahwa untuk pemberitaan di internet yang dilakukan institusi pers, yang merupakan kerja jurnalistik yang sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, diberlakukan mekanisme sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers sebagai lex spesialis bukan UU ITE. Untuk kasus terkait pers perlu melibatkan Dewan Pers.

Namun demikian, Pedoman Nomor 229/2021 akan menemui tantangan berat karena norma hukum yang memayunginya justru membuka celah penafsiran yang membelenggu kemerdekaan pers.

Sementara itu, dalam proses legislasi revisi kedua UU ITE, Dewan Pers menilai tidak ada transparansi dan keterbukaan untuk melibatkan partisipasi publik secara luas, terutama untuk mendengarkan berbagai masukan dari stakeholder yang berpotensi terdampak.

Hal ini menunjukkan ketidakseriusan lembaga eksekutif dan legislatif untuk menjalankan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang telah diubah menjadi UU Nomor 13 Tahun 2022.

Bahkan naskah revisi kedua atas UU ITE yang baru disahkan oleh DPR dan Pemerintah juga sulit diperoleh.

“Oleh karena itu, Dewan Pers mengajak masyarakat dan seluruh komunitas pers untuk bergerak mengkritisi revisi kedua atas UU ITE tersebut. Dewan Pers juga menyerukan segenap komunitas pers pada khususnya dan berbagai pihak yang potensial terdampak pada umumnya untuk mengambil langkah konkret bersama- sama mencegah terjadinya kriminalisasi pers yang disebabkan oleh UU ITE atau UU lainnya yang masih mengancam kemerdekaan pers,” pungkasnya. (*)